Bersahabat dengan Ambiguitas
Satu kemampuan yang patut dimiliki setiap desainer
Pernah ada yang bertanya di Twitter, tapi saya lupa twit yang mana, atau orang yang mana. Intinya, beliau bertanya, “apa sih yang jadi kriteria Senior Designer?” Intinya, apa yang menjadi parameter seseorang itu beranjak dari junior ke senior?
Tentu, banyak jawabannya. Ada yang bilang, “pengalaman tahun kerja saja tidak cukup. Seorang desainer harus bisa menguasai stakeholder management“, ibarat ada mata kuliah yang harus lulus dulu. Ada juga yang bilang, “fokus pada outcome“. Tidak salah juga. Ada juga yang bilang, “harus menguasai banyak keahlian UX”. Mungkin benar, mungkin tidak.
Perusahaan di mana seorang desainer bekerja juga berpengaruh. Ada desainer A, bisa jadi VP di perusahaan A, tapi kemudian hanya layak jadi Senior Designer di perusahaan B. Kenapa begitu? Karena setiap perusahaan punya parameter dan maturity yang berbeda-beda pula dalam menilai kinerja dan pengalaman.
Buat saya, jika hanya satu faktor yang saya lihat dalam menentukan apakah seorang desainer itu bisa jadi senior atau tidak, adalah faktor apakah dia bisa “bersahabat” dengan ambiguitas.
Apa itu ambiguitas? Kalau menurut sebuah kamus:
1 sifat atau hal yang bermakna dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; 2 ketidaktentuan; ke-tidakjelasan; 3 kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang lebih dari satu atas suatu karya sastra; 4 kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat;
Mungkin saya melihat lebih dari “ketidakjelasan” dan “ketidaktentuan”.
Kualitas seorang desainer ditentukan dari apakah dia terbiasa atau nyaman dengan ambiguitas.
Mari saya jelaskan.
Setiap permasalahan di perusahaan punya kadar ambiguitasnya sendiri. Ada kemungkinan tingkat ambiguitas sudah berkurang drastis karena sudah ada pihak yang mempertajam atau “scoping out” masalah, misalnya tim produknya. Sebagai contoh, perusahaan A bergelut di bidang fitness technology dan sudah memahami betul penggunanya, bisnisnya dan tujuannya apa. Kemungkinan OKR, visi dan roadmap sudah jelas di depan mata. Tim pun dipimpin oleh Head of Product atau Product Manager yang sudah tahu mau berbuat apa. Desainer tinggal mengikuti. Dalam hal ini, pekerjaan desainer mungkin tinggal mempertajam masalah lebih detil, tapi “adonannya” sudah ada.
Ada situasi di mana kita dituntut untuk bisa “menyisir” masalah sendiri, menemukan jawaban, atau menentukan arah. Dari yang tidak jelas dan abstrak menjadi jelas dan konkrit. Dari 200 kemungkinan, kita tentukan 2 yang menjadi prioritas.
Menurut saya, inilah tolok ukur sebenarnya antara perbedaan level desainer.
Semakin tinggi level desainer, maka semakin besar kemungkinan mereka bisa lebih mandiri dalam menghadapi masalah, dan semakin ambigu masalahnya, semakin menantang untuk dicari jawabannya. Ketika mereka bisa diberikan masalah yang tak jelas jawabannya, kemudian memiliki proses untuk memecahkannya, maka di situlah value sebenarnya dari sebuah keahlian UX.
Mari kita lihat contoh konkritnya. Jika ada masalah, “how might we design a better experience to onboard an elderly to a vaccination program”, tanpa ada kejelasan lain, apa yang biasanya anda lakukan?
Apakah anda akan komplain kenapa masalahnya tidak jelas, lalu menunggu seseorang untuk memperjelasnya?
Apakah anda akan mencoba cari tahu sendiri dari desk research atau observation, lalu mencoba menyimpulkan sendiri?
Apakah kemudian anda akan melakukan desk research, observation lalu juga mengumpulkan stakeholder dan narasumber relevan lain untuk menggali lebih dalam kenapa kita melakukan ini semua, membuat sebuah analisa, lalu pada akhirnya menyimpulkan secara bersama-sama apa yang bisa kita lakukan selanjutnya (actionable items)?
Saya juga pernah hanya pada level komplain, lalu mengeluh, “duh, nggak jelas nih perusahaannya, orang-orangnya, mau resign aja, ah”. Terkadang saya juga jadi stres dan performa tidak maksimal.
Teman kerja saya pernah berkata:
A good designer is that someone, when I give her a problem, she’d spend time to understand it and question it, and can assess or decide what she needs to do with it. Then, once she does decide to work on it, is it really complete? Can she find loopholes, can she find opportunities?”
Sebagai desainer, kita harus bisa:
Melihat masalah tidak hanya dari kulitnya. Coba gali terus lebih dalam.
Melihat ambiguitas sebagai kesempatan.
Mandiri dalam proses menemukan jalan ke arah yang lebih baik.
Mengajak orang lain dan stakeholder untuk bekerjasama dalam visi kita.
Semoga bermanfaat ya!